HAPUS AIR MATAMU, DITA!


 
Aku hanya berdiri di pojok kelas, tak ada satu pun yang mau menemani, entahlah, mungkin mereka jijik denganku, kondisi yang tak sempurna dan penampilan yang berantakan cukup menjadi alasannya. Aku mengerti. Kalau aku jadi mereka, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama. Makanya, tak ada yang bisa kulakukan, selain diam, menyendiri seperti ini. Aku tahu, aku tidak boleh banyak tingkah, tidak boleh melawan, tidak boleh membela diri kalau mereka mengejek atau usil, karena pasti akan sia-sia, dan yang jelas mereka akan semakin menjadi. Menangis pun tidak akan merubah keadaan.
Selama enam tahun aku menjalani hidup seperti itu. Sakit sudah pasti, merasa terkucil sudah tentu, aku seperti berada di dunia asing yang tidak menginginkan kehadiranku. Tapi aku tidak punya pilihan, dan mau tidak mau harus menerima, meski semua ini bukan keinginanku. Jujur, aku tidak mau menjadi seperti ini, menjadi seonggok daging yang hanya dijadikan bahan olok-olok, karena sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu kenapa harus seperti ini. Kesal? Tak usah ditanya lagi seberapa besar kesalku. Sudah sejak dulu aku marah pada keadaan, berontak, kecewa atau mungkin menggugat. Aku merasa Tuhan tidak adil, pilih kasih dan sengaja ingin membuatku menderita. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Kenapa tidak Lena, Yani, atau Sinta? Mereka yang bermulut nyinyir, lebih tajam dari silet.
Aku yakin, tidak ada seorang anak pun di dunia ini yang ingin terlahir dengan kekurangan, baik secara fisik atau keluarga. Tapi aku harus mendapatkan keduanya. Kaki kiriku tidak berkembang sempurna seperti kaki kananku dan kaki anak-anak lainnya, hingga aku harus menggunakan jangka agar bisa berjalan. Sementara kedua orang tuaku, entah berada dimana. Mereka berpisah sejak aku masih balita, dan aku ditinggalkan begitu saja, diabaikan, bersama Dito, adikku, yang juga memiliki kekurangan fisik, organ pendengarannya tidak berkembang baik, sehingga menyulitkannya untuk mengenali suara dan tentu berdampak pada kemampuannya berbicara. Kami dititipkan pada nenek yang sudah tidak lagi muda, dan hingga sekarang, mereka ---kedua orang tuaku--- tak pernah datang untuk menjenguk kami, keduanya atau salah satunya.
Kami tumbuh tanpa belaian lembut seorang ibu dan dekapan hangat seorang ayah. Kami seperti anak yatim-piatu yang tidak memiliki orang tua, atau anak yang dibuang, karena orang tuanya tidak menginginkan kehadirannya. Maka jangan salahkan kami,     ---terutama aku--- jika tumbuh dengan rasa benci pada diri sendiri, pada orang tua, dan juga pada mereka yang suka menghina dan memandang dengan sebelah mata, termasuk (pernah terbersit) untuk membenci Tuhan. Untunglah nenek begitu sayang dan perhatian pada kami, meski kondisinya sangat jauh dari kata cukup, tapi beliau tak pernah putus asa mengurus kami, hingga sebesar sekarang ini. Aku sudah kuliah, dan adikku di SLB-B, setara SMA.
 Untuk bisa bersekolah seperti ini, tentu bukan hal mudah bagi kami. Kondisi keuangan nenek, tidak akan cukup untuk membiayainya. Beliau hanyalah seorang pembuat sapu lidi, yang penghasilannya untuk makan sehari-hari pun terkadang masih harus ngutang ke warung. Tekad dan cita-citalah yang membuatku yakin hingga bisa ke tahap ini, tahap yang sama sekali tak pernah kupikirkan, bahkan meski hanya di dalam mimpi.
Aku berkeyakinan, cita-cita bukan hanya milik orang kaya, bukan pula hanya milik mereka yang terlahir dengan kesempurnaan fisik, dan bukan pula hanya milik mereka yang memiliki keluarga utuh. Tidak. Semua orang berhak memiliki cita-cita, termasuk aku, dan adikku.
Tentunya ada seseorang yang menyulut api semangatku hingga bisa bertahan hingga seperti ini, ya beliau adalah Paman Handi, adik ibu semata wayang, yang juga merupakan anak bungsu nenek yang begitu gigih memperjuangkan kami. Meskipun beliau hanya lulusan Sekolah Dasar, tapi pola pikirnya jauh melampaui ijazah yang dimilikinya. Mungkin kerasnya kehidupan telah membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab.
Kakek meninggal saat ibu masih duduk di Sekolah Dasar dan paman masih belum bersekolah. Kondisi nenek yang tidak bekerja, membuat beliau hanya mampu mengantarkan kedua anaknya hanya sampai lulus SD. Ibu kemudian mencoba peruntungan di kota, dan malah ketemu ayah, lalu menikah, dan bercerai setelah Dito lahir, lalu pergi membawa lukanya, entah kemana, hingga kini tak diketahui rimbanya. Paman Handi, setelah lulus SD, tetap di rumah membantu nenek dan setelah kami lahir, beliau lantas ikut mengurus kami ---dua orang anak yang diabaikan oleh kedua orang tuanya, dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.
Tidak seperti anak seusianya, Paman Handi jarang menghabiskan waktu untuk bermain atau bersenang-senang, ia lebih memilih bekerja, apa saja, asalkan halal dan bisa mendapatkan uang. Ia menyadari, kalau ia bukan berasal dari keluarga cukup, jadi dirinyalah yang harus ikut mencukupi. Ikut menanggung beban yang sebenarnya bukan bebannya. Tapi beliau tak pernah mengeluh, meski kadang kulihat tubuhnya begitu lelah, karena pekerjaan kasar yang harus ia lakukan.
Kepadanya pula aku sering mengadu, kalau ada teman di sekolah yang mengejek atau mengusiliku. Terkadang beliau membela, mendatangi anak itu dan menegurnya. Namun, beliau lebih sering menenangkan dan membesarkan hatiku kalau aku merasa down, minder atau putus asa, yang kadang terkesan memaksa agar aku bisa menerima keadaanku yang hanya begini adanya. Mau bagaimana lagi? Kalau kamu tidak bisa menerima, maka selamanya akan didera rasa benci pada orang-orang yang mengejekmu, dan tentu pada dirimu sendiri, dan yang pasti, selamanya akan menyiksa batinmu.
Beliau juga sering bilang, kalau kita telah diciptakan untuk jadi orang yang kuat, jadi jangan menyerah dan menyesal, bagaimanapun keadaannya. Berkali-kali, beliau menguatkan aku, untuk bisa menerima keadaanku. Dan aku mengakui, nasihat beliaulah yang akhirnya berhasil menyumbat saluran air mataku untuk tidak mengalir lagi, aku menyadari, air mata tidak akan menyelesaikan apapun, tapi justru hanya membuatku semakin lemah dan semakin terpuruk, berkubang dalam kesedihan tak berujung. Beliau jugalah yang berhasil membakar tekadku untuk bisa move on dari semua kesengsaraan hati ini. Kesengsaraan yang aku buat sendiri karena membiarkan hatiku terkekang oleh perasaan benci pada takdir. Hidup harus terus berjalan, bahagia atau sedih hanyalah pilihan. Jangan jadi cewek cengeng. Jangan kalah, karena pasti akan ada bingkisan istimewa yang disiapkan Tuhan untukku. Aku yakin itu, guru agama di sekolah pernah berkata bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan. Dan, titik balik itu terjadi saat aku sudah duduk di bangku SMP, pamanlah yang mendesakku untuk tetap bersekolah, padahal aku sudah males, karena pasti aku hanya akan dijadikan bahan ledekan teman-teman.
Ternyata paman benar, dengan membebaskan kebencianku dan menerima keadaan, aku merasa hidupku lebih tenang, lebih nyaman, dan lebih bahagia. Aku tak peduli lagi dengan kata-kata yang mengejekku, atau memandang rendah padaku. Terserah. Silahkan saja bicara sampai bibir dower, I don’t care! Toh aku tidak merepotkan hidup kalian. Aku tidak meminta makan pada kalian, dan aku sekolah tidak meminta biaya dari kalian. Aku juga mahluk ciptaan Tuhan, menghinaku berarti menghina Yang Menciptakanku. Dan itu sudah bukan urusanku.
Hidup tanpa rasa benci membuat pikiranku lebih terbuka, lebih bisa berpikir jernih dan fresh. Hingga suatu ketika aku mengajukan diri untuk membantu paman mencari uang, tentu dengan cara yang bisa aku lakukan. Awalnya paman menolak, khawatir akan mengganggu belajarku, tapi setelah aku meyakinkannya berkali-kali, akhirnya paman setuju. Dan aku mulai berjualan keliling setiap pulang sekolah, terkadang ditemani Dito yang juga ingin membantu. Kebetulan ada tetangga yang suka membuat aneka kue basah, jadilah aku reseller-nya.
 Untuk memulai, benar-benar dibutuhkan kekuatan mental baja, agar bisa mengalahkan rasa malu atau rasa-rasa lainnya yang selalu hadir menghalangi. Aku yang tidak terbiasa dengan jualan, ditambah kondisi kakiku yang pincang, serta adikku yang bisu, hanya akan semakin menambah ejekan dari teman-teman. Semua kejelekan ada padaku. Jika mengingat itu, rasa sedih dan putus asa kembali mendera. Ingin kusudahi saja usaha ini. Tapi, jika teringat paman, aku semakin sedih, sampai kapan aku akan membebaninya? Paman juga berhak bahagia, berhak menikmati hasil kerjanya, untuk keperluan pribadinya. Dan tekad itu akan kembali menyala. Aku selalu menguatkannya dalam hati, bahwa aku berdagang, bukan mengemis. Mencoba menjemput rizki yang Tuhan sediakan untukku. Ini pekerjaan halal!
Alah bisa karena biasa, mungkin pepatah itu benar adanya. Lama-lama aku tidak ragu lagi menjajakan daganganku, pada ibu-ibu yang berkumpul sambil menggosip, pada kakak-kakak yang nongkrong sambil bercerita atau pada siapa saja yang kutemui di jalan, kutawari mereka untuk membeli kue basah. Keberadaan Dito sangat membantu, terkadang dia yang membawakan barang dagangannya. Lama-lama aku punya langganan, dan hasilnya lumayan, bisa untuk menambah uang jajan aku dan Dito, atau menambah uang dapur nenek, kalau lebih aku menyimpannya untuk tabungan.
Tadinya aku tak pernah berpikir akan bisa sekolah sampai jenjang SMA, namun dengan uang tabungan dan hasil berdagang, aku yakin, Tuhan akan mencukupi kebutuhan sekolahku. Paman tentu sangat mendukung, aku melihat ada kebanggaan terpancar dimatanya.
Sekolah memang sesuatu yang mahal bagi kami, meski ada program bantuan dari pemerintah, tapi tetap saja untuk kegiatan sehari-hari butuh biaya, dan itu tidak sedikit. Tentu, jika hanya mengandalkan paman, akan sangat memberatkannya, belum lagi Dito dan nenek, mereka juga butuh biaya. Namun karena SMA waktu belajarnya lebih panjang, aku tak bisa lagi jualan keliling seperti waktu SMP, padahal tadinya dari situlah aku berharap mendapat uang tambahan. Bingung pun melanda hatiku. Bahkan aku sempat berpikir untuk berhenti sekolah saja, agar tetap bisa berjualan dan tentu akan mengurangi kebutuhan sehari-hari. Biarlah Dito saja yang sekolah. Ia lebih membutuhkannya daripada aku. Sudah pasti paman menolak, beliau berkeras agar aku tidak putus sekolah, bagaimanapun caranya.
Aku pun tak tinggal diam, otakku terus berpikir mencari peluang apa saja yang bisa kulakukan. Terkadang ada tetangga yang menyuruhku membantu mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel, aku mau, asal tidak mengganggu waktu belajarku. Terkadang ada tetangga yang meminta aku mengajari anaknya mengerjakan PR atau tugas lainnya, aku juga mau. Seiring dengan itu, tidak lagi kudengar mulut nyinyir berbau hinaan padaku, dan juga pada adikku. Mungkin mereka bosan, atau mungkin capai, karena aku sudah tak lagi ambil pusing. Its me and its my life. Atau mungkin malu, karena aku tak lagi membalas mereka dengan kebencian, meski hanya sebesar biji sawi dalam hatiku, aku terima dengan ikhlas, aku pun mengajari Dito seperti itu.
Jika kita mau berusaha, Tuhan pun tak akan membiarkan kita terus tenggelam dalam kebingungan. Hingga pada suatu sore, ide itu datang melalui teman Paman Handi yang berkunjung ke rumah. Entah urusan apa yang mereka bicarakan, tapi ketika hendak menelepon siapa, pulsa di telepon genggam temannya paman habis, dan aku diminta untuk membelikan ke warung depan, agak jauh memang. Sepanjang jalan, aku berpikir, di sekolah, hampir semua teman-temanku memiliki telepon seluler, tentu saja mereka akan butuh pulsa, kemarin juga Susi kebingungan karena butuh pulsa darurat, dan sepertinya tidak terlalu repot kalau aku jualan pulsa.
Sepeninggal temannya paman aku membahas ini dengan paman, beliau setuju, tapi jualan pulsa tentu berbeda dengan jualan keliling yang hanya tinggal mengambil barang lalu menjajakan. Kalau ini harus pake modal, harus punya telepon genggam dan tentu deposit pulsanya (aku tahu ini karena mencari informasi tentang cara-cara jualan pulsa), sementara uang tabunganku sudah habis untuk biaya pendaftaran sekolah dan ini-itu.
There is a will there is a way, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Entah darimana dan bagaimana, akhirnya paman mendapatkan uang lima ratus ribu rupiah untuk beli hp second dan juga untuk modal deposit. Belakangan sih aku tahu, rupanya paman meminjam pada temannya. Tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku kelola dengan sebaik mungkin, hingga sedikit demi sedikit aku bisa mengembangkannya. Syukurlah, langgananku semakin bertambah, bahkan bapak/ibu guru di sekolah terkadang suka membeli pulsa dariku.
Satu ide lagi muncul di kepala, ketika aku mengantar temanku jajan di kantin, kenapa tidak aku titipkan saja kue-kue basah tetanggaku di kantin? Tanpa berpikir panjang, aku segera mengeksekusi ide itu. Dan kedua belah pihak setuju, ibu kantin mau menerima titipan, dan tetanggaku bersedia memasok barang. Jadilah setiap pagi aku membawa kue-kue basah ke kantin, baru siangnya berhitung. Rupanya kue-kue basah tetanggaku bisa diterima pasar, malah terkadang kalau dewan guru akan rapat, suka memesan kue-kue dariku, rezeki memang tidak lari kemana. Tak lupa, aku selalu bersyukur setiap hari. Ternyata Tuhan benar-benar membuka jalan bagiku.
Lulus SMA, keinginanku untuk bisa kuliah begitu kuat. Aku merasa, nilai ijazah dan SKHUN-ku tidak mengecewakan. Tapi tentu untuk kuliah biaya yang diperlukan semakin besar, mungkin tidak akan cukup dari hanya jualan pulsa seperti ini, meski aku syukuri, bisa memiliki sedikit tabungan dari hasilnya, tapi itu tidak akan cukup untuk biaya kuliah.
Aku kembali memeras otak, bersama paman aku kembali berdiskusi, mencari peluang apa lagi yang bisa dijalani. Kami sepakat, kalau aku jadi kuliah aku mengambil kelas karyawan saja, agar waktu kuliahnya bisa dipadatkan, jadi aku masih punya waktu untuk membantu paman mencari uang tambahan. Tapi dengan cara apa? Aku belum tahu.
Paman tidak tinggal diam, bahkan Dito pun ikut urun suara, berbagai peluang usaha yang terpikir kami bahas, dan musyawarah kami mufakat untuk membuka kedai jus di pinggir jalan dekat pasar kecamatan, sekalian sama kue-kue basah dari tetangga itu, barang yang lain bisa sambil jalan nantinya. Lumayan disana ada space yang cukup strategis untuk mangkal, dilalui orang-orang yang mau ke pasar, juga anak-anak sekolah. Paman akan membantu, Dito juga, jadi kita akan bergiliran menunggu kedai, sesuai dengan waktu masing-masing. Ups, kalau kedai kayanya terlalu mewah deh, ini sih hanya gerobak kaki lima saja.
Langkah selanjutnya adalah menyusun konsep dan mengumpulkan modal. Untunglah jeda dari lulus SMA dengan jadwal kuliah cukup panjang, jadi waktu sepanjang itu bisa aku maksimalkan untuk melaksanakan ide kami. Lagi-lagi paman yang menyumbang modal paling besar, karena memang kebutuhan modal kali ini tidak sedikit, untuk membuat gerobak, beli blender dan juga bahan-bahan, buah-buahan, gula, susu, dan lain-lain. Untungnya untuk mangkal di pinggir jalan kita tidak dikenakan uang sewa. Dan kali ini paman pinjam dari bosnya.
Hari pertama launching (buka lapak, maksudnya), hanya laku tiga cup, hari kedua lima cup, hari ketiga delapan cup, hari keempat lima cup lagi, yang jelas satu minggu pertama masih belum terlihat hasilnya. Mungkin karena mental dagang sudah merasuk di jiwaku, aku tidak merasa gentar dengan keadaan itu. Terkadang sembari belanja buah-buahan di pasar, aku ngobrol dengan sesama penjual lain, bagaimana cara mulai membuka usaha, karena tentu ini beda dengan jualan keliling dan jual pulsa di sekolah. Banyak sekali masukan yang bisa kutampung, rata-rata mereka menyarankan untuk bersabar, dan ditekuni. Sikap mental sangat menentukan, apa yang terbersit di hati, benar-benar harus dijaga, jangan sampai ada perasaan menyerah atau aral. Aku setuju. Banyak pengusaha yang tidak langsung berhasil begitu buka usahanya. Namun, dengan adanya pembeli, mengindikasikan bahwa jualanku diterima pasar, meski belum maksimal.
Menyerah? Tidak! Pengalaman sudah mengajariku tentang perjuangan. Menyerah hanya akan menjadikanku semakin lemah. Yang kita butuhkan hanya kesabaran dan ketekunan lebih, ditambah doa dan strategi. Yap, strategi yang tepat akan memberikan hasil lebih baik. Setelah kami berdiskusi lagi, maka kami menyusun beberapa strategi, yang pertama, untuk anak sekolah, ada diskon beli berlima dapat 1 cup free aneka rasa, tapi harus makan di tempat. Yang kedua, untuk yang upload foto selfie di media sosialnya, dapet 1 cup free juga. Program itu kita sebarkan lewat media sosial yang kita punya, dan juga lewat beberapa anak sekolah yang kita mintai bantuan untuk menyebarkan di sekolahnya, tentu anak itu mendapat fasilitas free. Ah, aku merasa seperti pengusaha besar saja, pakai bikin program promo segala. Tapi memang, program itu cukup berhasil, lambat laun pembeli meningkat jumlahnya, yang secara otomatis akan meningkatkan omzet. Aku harus bisa nabung, untuk mencicil modal pinjaman dari bos Paman Handi dan juga biaya kuliahku yang harus di bayar.
Alhamdulillah, pada saat perkuliahan di mulai, kedaiku sudah lumayan ramai, hingga paman memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan total mengurus kedai. Satu hal lagi yang bisa ku kembangkan, kebetulan kampusku berada di kota kabupaten, dan jadwal kuliahku hanya tiga hari, kamis-sabtu, maka tiga hari aku kos di sana, dan empat hari aku di rumah, otomatis harus bolak-balik, setiap rabu sore berangkat dan sabtu sore pulang. Hal ini tentu sangat menyita ongkos bis. Otak bisnisku pun beraksi lagi, mencari cara agar bisa sekedar untuk mengganti ongkos. Untuk itu, aku membeli kerudung atau pernak-pernik lain yang kira-kira di kampungku belum ada, bakal dijual lagi di sana. Kadang aku juga memanfaatkan media sosial untuk menawari teman-teman SMA-ku yang jauh, dan lumayan ada saja yang membeli. Atau kadang aku juga menerima pesanan dari mereka yang ingin beli barang apa. Lumayan, sambil menyelam makan mie goreng. Hehe.
Tak terasa dua tahun lagi kuliahku selesai, mohon doanya, o ya... aku mengambil jurusan Bahasa Inggris, kalaupun nantinya tidak jadi guru, aku bisa buka kursus di rumah, sambil bisnis tentunya. Dan aku juga mohon doa dari semuanya, sekarang aku sedang mengumpulkan uang untuk bisa membeli kaki palsu, agar tidak perlu memakai jangka lagi, juga alat pendengaran untuk Dito, semoga ada rezekinya. Amin.
Hanya itu sekelumit pengalamanku, girls. Mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk kita semua. Terkadang hidup menyuguhkan hal yang tidak kita inginkan, tapi yakinlah akan hadiah terindah yang disiapkan Tuhan jika kita mau menerimanya dengan sabar dan ikhlas. Jangan jadi cewek cengeng, air mata bukan satu-satunya senjata cewek untuk menghadapi kenyataan, bangkit dengan senyum, berjuang dengan tulus dan tetap semangat menjalani hidup akan memberikan begitu banyak energi positif. Jangan lupa terus bersyukur dan berterima kasih pada orang-orang di sekitar kita. Karena berkat mereka kita bisa bertahan. Keep fight!
 
  
Note: 
Diramu dari beberapa sumber dan pengalaman beberapa cewek yang fight untuk hidupnya. Dengan penambahan unsur fiksi. 
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar