Orang yang membuat saya cemburu adalah
Ofi Sofyan Gumelar! Bukan karena dia lebih ganteng dari saya, tapi karena sudah
beberapa kali dia share di akun facebook-nya kalau dia berhasil memenangkan
sebuah blog competition. Well,
sebagai teman -tepatnya kakak tingkat- waktu kuliah di UPI, saya ikut senang
dan bangga, ternyata adik tingkat saya ini memiliki keterampilan lain di luar
kimia, yang tentu sejalan dengan saya -saya baru tahu kalau Ofi suka nulis,
sejak muncul share artikel dia di media sosial-. Penasaran, saya klik link-nya,
saya baca artikelnya -yang memang bagus- dan tak bisa saya pungkiri, seketika
otak saya membentur sebuah kata yang belum familiar bagi sistem pengetahuan
dalam pikiran saya: Kompasiana. Apaan sih? Kok Ofi jadi pemenang di situ?
Saya pun mulai kepo, dan langsung nyari
informasi, apa sih Kompasiana? Dari penelurusan artikel dia yang saya klik, dan
juga dari bantuan mbah Google, akhirnya saya tahu, kalau Kompasiana adalah
sebuah platform menulis bagi siapa saja yang hobi menulis dan ingin bergabung,
mereka menyebutnya media warga (citizen
media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan
pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar ataupun
rekaman audio dan
video (sumber: Wikipedia). Serupa orang
kelaparan, saya lahap semua informasi itu dengan rakus. Semakin penasaran,
lantas saya masuk, buka-buka, keliling-keliling, ngubek-ngubek semua kanal yang
ada. Dan saya pun tenggelam dalam ribuan artikel kece yang berhasil membuat
mata saya melotot dengan bibir melongo. Saya hanya bengong menatap layar
komputer, its amazing!
Saya mulai merasakan ada letupan kecil
dalam dada, ada desir dalam aliran darah, dan ada hasrat yang berdebar! Kalau
Ofi bisa, kenapa saya tidak? Menulis adalah hobi saya sejak SMP, meski belum
serius, setidaknya sudah ada beberapa tulisan saya yang menghiasi media
(termasuk majalah dinding atau majalah kampus). Berbekal pengalaman itu, saya
yakin untuk bergabung menjadi Kompasianer, sebagai satu-satunya cara bisa
berkontribusi di sana.
Tanpa membuang waktu, saya segera
melakukan registrasi. Saya ikuti tahapannya, dan ternyata gagal, tidak bisa
login, selalu mentok di validasi, atau apalah, gak ngerti. Tapi saya tidak
menyerah, saya coba lagi dan lagi, sampai berkali-kali ganti email, dan tetap
belum berhasil. Selalu mentok ditahapan yang sama, ‘Selamat
datang kompasianer, silahkan isi nick name untuk registrasi’. Aaah!
Kesal. Amarah pun mulai menjalar, dan sukses melemahkan akal. Ujung-ujungnya
saya menyerah, sudahlah....
Namun keinginan untuk join di Kompasiana
belum sepenuhnya hilang. Dalam satu kesempatan, saya mencoba lagi, saya cari
tutorialnya, dan ternyata banyak artikel yang membahas tentang itu, saya pilih
artikel yang dilengkapi video step by
step di youtube. Saya pikir, akan lebih mudah diikuti, dan peluang berhasil
akan lebih besar, but you know? Saya
tetap gagal. Huh! Ternyata untuk mendaftar di Kompasiana tidak semudah yang
saya bayangkan, saya tidak tahu kesalahannya dimana? Jujur, pengetahuan saya
tentang internet dan pemrograman masih sangat kurang, mungkin karena faktor U
juga, hingga otak saya tidak bisa lagi mencerna dengan cepat. Hmmmh, lagi-lagi
saya harus menghela nafas dalam-dalam. Masih belum mengaku kalah, saya kirim
twit pada akun twitter @Kompasiana, saya curhat habis-habisan dan memohon diberi
pencerahan tentang problem yang saya alami. Dan seiring waktu berlalu, tidak
ada satu pun balasan yang saya terima! Semakin tertutuplah pintu untuk saya
bergabung. Oke, jika memang Kompasiana tidak mau menerima saya, tidak apa-apa,
masih banyak tempat lain untuk menulis. Dan saya putuskan menyerah, lupakan
keinginan menjadi Kompasianer.
Entahlah, suatu hari, tiba-tiba
terbersit untuk mengirim pesan via facebook kepada sahabat saya, Irma Tri
Handayani -kami biasa memanggilnya Imay- dia juga sudah menjadi Kompasianer
yang cukup aktif dengan URL Profil: langitmiyu -saya juga sering membaca
postingannya yang dia share di facebook- untuk meminta dibuatkan akun
Kompasiana. Dan jawabannya, tidak terlalu meyakinkan, karena akunnya dia pun
tidak dibuat sendiri, tapi dibuatkan Ofi. Ah, haruskah saya merepotkannya lagi?
Namun ternyata, Ofi memang mau
direpotkan. Suatu hari ada pesan masuk ke inbok saya, yang berisi bahwa akun
Kompasiana saya sudah siap, tinggal diatur sana-sini, lengkapi data dan ganti
foto profil, lengkap dengan tutorial step
by step beserta gambarnya. Detil dan jelas. Namun bayang-bayang kegagalan
di waktu lalu, membuat saya tidak begitu bergairah, saya takut tidak bisa
mengikuti yang akhirnya berujung pada kegagalan lagi, dan semakin membenamkan
saya pada jurang keputusasaan yang dalam. Setidaknya saya harus menyiapkan
mental jika hal itu benar-benar terjadi. Alhasil, untuk beberapa lama pesan itu
terabaikan. Maaf Ofi, tapi saya masih ‘trauma’.
Lagi-lagi, Imay yang mengingatkan saya,
“Kok belum nulis di Kompasiana?” dan seperti tersengat aliran listrik, semua
sistem di tubuh saya terkoneksi pada satu impuls, ini saatnya untuk mencoba
lagi. Ok, saya buka lagi inbok dari Ofi, saya copy-paste ke dalam format word,
saya download gambarnya satu persatu, saya pelajari dengan seksama, lalu saya
buka web Kompasiana dan saya terapkan petunjuknya di situ, persis seperti yang
sedang belajar masak sambil baca buku resep, buka-tutup, buka lagi, terus saja
sampai selesai. And finally, complete! Saya
melihat nama saya tertulis di sana, bersama satu ruang kosong yang bisa saya
isi dengan beragam tulisan. Berhasil... berhasil.... yeah...! (Dora mode on). Tawa
yang langsung berderai dan tangan yang refleks menari-nari menjadi ekspresi
kemenangan saya, sambil sesekali meneriakkan Yess... yess... yess! Untung saja
tidak ada orang lain yang melihat. Tak lupa saya pun bersyukur. Alhamdulillah. Lega banget rasanya,
seperti terbebas dari himpitan beban hidup yang menyiksa. Hehe... (tuh kan saya
sudah bisa tersenyum, hehe).
Tak sabar saya pun ingin segera mencoba,
dan untuk post pertama, saya mengirim sebuah cerpen, yang berjudul ‘Lembayung
di Langit Pondok’ cerpen yang sudah ada di file komputer saya. Stok. Ternyata
sukses, saya sudah bisa melihat karya saya nangkring di Kompasiana. Wow! Saya
pun langsung share di facebook dan mengabarkan pada dua orang senior saya di
Kompasiana, kalau saya sudah bisa posting. Saya merasakan ada aura yang beda
ketika membaca karya saya di sana. Seperti ada kepuasan yang membuat senyum-senyum
sendiri. Hihi. Tentu mereka menyambut saya dengan antusias, dan semakin
menambah semangat untuk terus eksis.
Di Kompasiana, kita bisa tahu berapa
orang yang sudah membaca karya kita, dan ini seru, membuat hati jadi dag dig
dug, apakah tulisan kita dibaca orang? –atau mungkin karena baru pertama
posting?- Ah, tapi mengapa jari ini selalu ingin mengetik alamat web Kompasiana
di halaman awal pencarian? Dan selalu ingin melihat berapa orang yang sudah
mampir ke akun saya? Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, rasanya semakin kencang
degup jantung saya, terlebih ketika menyentuh angka seratus, waah... cerpen
saya dibaca oleh seratus orang lebih! Mudah-mudahan akan terus bertambah,
aamiin). Bagi para senior yang sudah malang-melintang di Kompasiana, mungkin
bukanlah apa-apa, tapi bagi saya yang newbie,
ini sebuah apresiasi dan ucapan selamat datang yang luar biasa! Terlebih dengan
predikat menarik dari seorang pembaca dan juga masuk ke dalam label pilihan
versi admin. Its really amazing!
Terang saja, momen ini sangat berkesan
bagi saya. Sebuah pengalaman yang luar biasa dalam dunia literasi yang saya
jalani. Dan saya yakin, ke depannya akan lebih banyak lagi pengalaman seru yang
akan saya dapatkan bersama Kompasiana. Terima kasih Ofi, terima kasih Imay
sudah support saya dan selalu membantu saya. Terima kasih Kompasiana, sudah
menerima saya untuk bergabung. Dan saya siap untuk terus belajar, mohon saran
dan bimbingannya selalu.
Oiya, satu hal yang sempat membuat saya
kembali down, setelah berhasil
posting yang pertama, saya sempat tutup akun, bukan logout, karena ada keperluan yang membuat saya harus mematikan
komputer. Dan kejadiannya adalah ketika hendak masuk kembali, akun Kompasiana
saya tidak bisa dibuka, saya hanya berdiri di halaman dengan pintu yang seolah
terkunci, berkali-kali saya menggedor, meminta masuk, tetap saja tidak dibuka. Saya
bingung, kenapa? Di blok-kah? Tapi kenapa? Apakah saya telah melakukan
kesalahan? Lantas apa kesalahannya?
Geming. Tak ada jawaban apapun yang saya
dapat, pun ketika saya kembali mengirim twit ke akun @Kompasiana. Apakah ini
berarti kesempatan saya menulis di Kompasiana hanya sampai disini?
Error.
The
page isn’t redirecting properly.
Firefox
has detected that the server is redirecting the request for this address in a
way that will never complete. This problem can sometimes be caused by disabling
or refusing to accept cookies.
Begitu kata firefox, ketika saya mencoba
masuk. Error! Ternyata perjalanan saya di Kompasiana tidak mulus. Panik? Sudah
tentu, karena belum genap 24 jam saya join, tapi harus berakhir. Sedih. Dan
sikap sok tahu saya yang akhirnya bisa membuka gembok itu, ternyata masalahnya
ada di cookie, untungnya ada tutorial
yang menjelaskan tata cara menghapus cookie.
Saya ikuti dan berhasil, hingga saya bisa posting artikel selanjutnya.
Dan, keajaiban pun kembali menghampiri,
ketika tanggal 29 Desember kemarin, cerpen saya yang berjudul ‘Pertemuan Dua
Jam’ berhasil masuk menjadi Headline. Aahh, senangnya... seolah mendapat
pengakuan dari Kompasiana. Hehe. Saya menganggapnya sebagai kado akhir tahun
terindah. Saya berharap, semoga ke depan semua berjalan lancar, tidak ada lagi
kendala yang menghadang. Bravo Kompasiana! Senang bisa bergabung dan menjadi
bagian darimu.
keren banget momentnya bersama Kompasiana Mas...kok gak diposting di Kompasiana aja tulisan ini...
BalasHapusSelamat yaaa...
Hehe, makasih Bu. Biar blog saya juga ada pengunjungnya, hehe.
BalasHapushahha mantap neh :D
BalasHapusaiihh, coba waktu itu nanya ane, dalam setengah jam insyaAllah bisa ane bikinin akunnye hehe
Wahh, serius Bang. Masalahnye dulu pan kite belum kenal, hehe. Btw, makasih ye udah mampir ke blog ane. Hehe.
BalasHapusnyimak dulu gan
BalasHapusthanks terimakasih