Aku hanya berdiri di
pojok kelas, tak ada satu pun yang mau menemani, entahlah, mungkin mereka jijik
denganku, kondisi yang tak sempurna dan penampilan yang berantakan cukup
menjadi alasannya. Aku mengerti. Kalau aku jadi mereka, mungkin aku pun akan
melakukan hal yang sama. Makanya, tak ada yang bisa kulakukan, selain diam,
menyendiri seperti ini. Aku tahu, aku tidak boleh banyak tingkah, tidak boleh
melawan, tidak boleh membela diri kalau mereka mengejek atau usil, karena pasti
akan sia-sia, dan yang jelas mereka akan semakin menjadi. Menangis pun tidak
akan merubah keadaan.
Selama enam tahun aku
menjalani hidup seperti itu. Sakit sudah pasti, merasa terkucil sudah tentu, aku
seperti berada di dunia asing yang tidak menginginkan kehadiranku. Tapi aku tidak
punya pilihan, dan mau tidak mau harus menerima, meski semua ini bukan
keinginanku. Jujur, aku tidak mau menjadi seperti ini, menjadi seonggok daging
yang hanya dijadikan bahan olok-olok, karena sesuatu yang aku sendiri pun tidak
tahu kenapa harus seperti ini. Kesal? Tak usah ditanya lagi seberapa besar
kesalku. Sudah sejak dulu aku marah pada keadaan, berontak, kecewa atau mungkin
menggugat. Aku merasa Tuhan tidak adil, pilih kasih dan sengaja ingin membuatku
menderita. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Kenapa tidak Lena, Yani,
atau Sinta? Mereka yang bermulut nyinyir, lebih tajam dari silet.
Aku yakin, tidak ada
seorang anak pun di dunia ini yang ingin terlahir dengan kekurangan, baik secara
fisik atau keluarga. Tapi aku harus mendapatkan keduanya. Kaki kiriku tidak
berkembang sempurna seperti kaki kananku dan kaki anak-anak lainnya, hingga aku
harus menggunakan jangka agar bisa berjalan. Sementara kedua orang tuaku, entah
berada dimana. Mereka berpisah sejak aku masih balita, dan aku ditinggalkan
begitu saja, diabaikan, bersama Dito, adikku, yang juga memiliki kekurangan
fisik, organ pendengarannya tidak berkembang baik, sehingga menyulitkannya untuk
mengenali suara dan tentu berdampak pada kemampuannya berbicara. Kami dititipkan
pada nenek yang sudah tidak lagi muda, dan hingga sekarang, mereka ---kedua
orang tuaku--- tak pernah datang untuk menjenguk kami, keduanya atau salah
satunya.
Kami tumbuh tanpa
belaian lembut seorang ibu dan dekapan hangat seorang ayah. Kami seperti anak
yatim-piatu yang tidak memiliki orang tua, atau anak yang dibuang, karena orang
tuanya tidak menginginkan kehadirannya. Maka jangan salahkan kami, ---terutama aku--- jika tumbuh dengan rasa
benci pada diri sendiri, pada orang tua, dan juga pada mereka yang suka
menghina dan memandang dengan sebelah mata, termasuk (pernah terbersit) untuk
membenci Tuhan. Untunglah nenek begitu sayang dan perhatian pada kami, meski
kondisinya sangat jauh dari kata cukup, tapi beliau tak pernah putus asa
mengurus kami, hingga sebesar sekarang ini. Aku sudah kuliah, dan adikku di
SLB-B, setara SMA.
Untuk bisa bersekolah seperti ini, tentu bukan
hal mudah bagi kami. Kondisi keuangan nenek, tidak akan cukup untuk membiayainya.
Beliau hanyalah seorang pembuat sapu lidi, yang penghasilannya untuk makan
sehari-hari pun terkadang masih harus ngutang ke warung. Tekad dan cita-citalah
yang membuatku yakin hingga bisa ke tahap ini, tahap yang sama sekali tak
pernah kupikirkan, bahkan meski hanya di dalam mimpi.
Aku berkeyakinan,
cita-cita bukan hanya milik orang kaya, bukan pula hanya milik mereka yang
terlahir dengan kesempurnaan fisik, dan bukan pula hanya milik mereka yang
memiliki keluarga utuh. Tidak. Semua orang berhak memiliki cita-cita, termasuk
aku, dan adikku.
Tentunya ada seseorang
yang menyulut api semangatku hingga bisa bertahan hingga seperti ini, ya beliau
adalah Paman Handi, adik ibu semata wayang, yang juga merupakan anak bungsu
nenek yang begitu gigih memperjuangkan kami. Meskipun beliau hanya lulusan
Sekolah Dasar, tapi pola pikirnya jauh melampaui ijazah yang dimilikinya.
Mungkin kerasnya kehidupan telah membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan
bertanggung jawab.
Kakek meninggal saat
ibu masih duduk di Sekolah Dasar dan paman masih belum bersekolah. Kondisi
nenek yang tidak bekerja, membuat beliau hanya mampu mengantarkan kedua anaknya
hanya sampai lulus SD. Ibu kemudian mencoba peruntungan di kota, dan malah
ketemu ayah, lalu menikah, dan bercerai setelah Dito lahir, lalu pergi membawa
lukanya, entah kemana, hingga kini tak diketahui rimbanya. Paman Handi, setelah
lulus SD, tetap di rumah membantu nenek dan setelah kami lahir, beliau lantas
ikut mengurus kami ---dua orang anak yang diabaikan oleh kedua orang tuanya,
dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.
Tidak seperti anak
seusianya, Paman Handi jarang menghabiskan waktu untuk bermain atau bersenang-senang,
ia lebih memilih bekerja, apa saja, asalkan halal dan bisa mendapatkan uang. Ia
menyadari, kalau ia bukan berasal dari keluarga cukup, jadi dirinyalah yang
harus ikut mencukupi. Ikut menanggung beban yang sebenarnya bukan bebannya.
Tapi beliau tak pernah mengeluh, meski kadang kulihat tubuhnya begitu lelah,
karena pekerjaan kasar yang harus ia lakukan.
Kepadanya pula aku
sering mengadu, kalau ada teman di sekolah yang mengejek atau mengusiliku.
Terkadang beliau membela, mendatangi anak itu dan menegurnya. Namun, beliau lebih
sering menenangkan dan membesarkan hatiku kalau aku merasa down, minder atau putus asa, yang kadang terkesan memaksa agar aku
bisa menerima keadaanku yang hanya begini adanya. Mau bagaimana lagi? Kalau kamu tidak bisa menerima, maka selamanya akan
didera rasa benci pada orang-orang yang mengejekmu, dan tentu pada dirimu
sendiri, dan yang pasti, selamanya akan menyiksa batinmu.
Beliau juga sering
bilang, kalau kita telah diciptakan untuk jadi orang yang kuat, jadi jangan
menyerah dan menyesal, bagaimanapun keadaannya. Berkali-kali, beliau menguatkan
aku, untuk bisa menerima keadaanku. Dan aku mengakui, nasihat beliaulah yang
akhirnya berhasil menyumbat saluran air mataku untuk tidak mengalir lagi, aku
menyadari, air mata tidak akan menyelesaikan apapun, tapi justru hanya
membuatku semakin lemah dan semakin terpuruk, berkubang dalam kesedihan tak
berujung. Beliau jugalah yang berhasil membakar tekadku untuk bisa move on dari semua kesengsaraan hati ini.
Kesengsaraan yang aku buat sendiri karena membiarkan hatiku terkekang oleh
perasaan benci pada takdir. Hidup harus terus berjalan, bahagia atau sedih
hanyalah pilihan. Jangan jadi cewek cengeng. Jangan kalah, karena pasti akan
ada bingkisan istimewa yang disiapkan Tuhan untukku. Aku yakin itu, guru agama
di sekolah pernah berkata bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan. Dan, titik
balik itu terjadi saat aku sudah duduk di bangku SMP, pamanlah yang mendesakku
untuk tetap bersekolah, padahal aku sudah males, karena pasti aku hanya akan
dijadikan bahan ledekan teman-teman.
Ternyata paman benar,
dengan membebaskan kebencianku dan menerima keadaan, aku merasa hidupku lebih
tenang, lebih nyaman, dan lebih bahagia. Aku tak peduli lagi dengan kata-kata
yang mengejekku, atau memandang rendah padaku. Terserah. Silahkan saja bicara
sampai bibir dower, I don’t care! Toh
aku tidak merepotkan hidup kalian. Aku tidak meminta makan pada kalian, dan aku
sekolah tidak meminta biaya dari kalian. Aku juga mahluk ciptaan Tuhan,
menghinaku berarti menghina Yang Menciptakanku. Dan itu sudah bukan urusanku.
Hidup tanpa rasa benci membuat
pikiranku lebih terbuka, lebih bisa berpikir jernih dan fresh. Hingga suatu ketika aku mengajukan diri untuk membantu paman
mencari uang, tentu dengan cara yang bisa aku lakukan. Awalnya paman menolak,
khawatir akan mengganggu belajarku, tapi setelah aku meyakinkannya berkali-kali,
akhirnya paman setuju. Dan aku mulai berjualan keliling setiap pulang sekolah,
terkadang ditemani Dito yang juga ingin membantu. Kebetulan ada tetangga yang
suka membuat aneka kue basah, jadilah aku reseller-nya.
Untuk memulai, benar-benar dibutuhkan kekuatan
mental baja, agar bisa mengalahkan rasa malu atau rasa-rasa lainnya yang selalu
hadir menghalangi. Aku yang tidak terbiasa dengan jualan, ditambah kondisi
kakiku yang pincang, serta adikku yang bisu, hanya akan semakin menambah ejekan
dari teman-teman. Semua kejelekan ada padaku. Jika mengingat itu, rasa sedih
dan putus asa kembali mendera. Ingin kusudahi saja usaha ini. Tapi, jika
teringat paman, aku semakin sedih, sampai kapan aku akan membebaninya? Paman
juga berhak bahagia, berhak menikmati hasil kerjanya, untuk keperluan
pribadinya. Dan tekad itu akan kembali menyala. Aku selalu menguatkannya dalam
hati, bahwa aku berdagang, bukan mengemis. Mencoba menjemput rizki yang Tuhan
sediakan untukku. Ini pekerjaan halal!
Alah bisa karena biasa,
mungkin pepatah itu benar adanya. Lama-lama aku tidak ragu lagi menjajakan
daganganku, pada ibu-ibu yang berkumpul sambil menggosip, pada kakak-kakak yang
nongkrong sambil bercerita atau pada siapa saja yang kutemui di jalan, kutawari
mereka untuk membeli kue basah. Keberadaan Dito sangat membantu, terkadang dia
yang membawakan barang dagangannya. Lama-lama aku punya langganan, dan hasilnya
lumayan, bisa untuk menambah uang jajan aku dan Dito, atau menambah uang dapur
nenek, kalau lebih aku menyimpannya untuk tabungan.
Tadinya aku tak pernah
berpikir akan bisa sekolah sampai jenjang SMA, namun dengan uang tabungan dan
hasil berdagang, aku yakin, Tuhan akan mencukupi kebutuhan sekolahku. Paman
tentu sangat mendukung, aku melihat ada kebanggaan terpancar dimatanya.
Sekolah memang sesuatu
yang mahal bagi kami, meski ada program bantuan dari pemerintah, tapi tetap
saja untuk kegiatan sehari-hari butuh biaya, dan itu tidak sedikit. Tentu, jika
hanya mengandalkan paman, akan sangat memberatkannya, belum lagi Dito dan nenek,
mereka juga butuh biaya. Namun karena SMA waktu belajarnya lebih panjang, aku
tak bisa lagi jualan keliling seperti waktu SMP, padahal tadinya dari situlah
aku berharap mendapat uang tambahan. Bingung pun melanda hatiku. Bahkan aku
sempat berpikir untuk berhenti sekolah saja, agar tetap bisa berjualan dan
tentu akan mengurangi kebutuhan sehari-hari. Biarlah Dito saja yang sekolah. Ia
lebih membutuhkannya daripada aku. Sudah pasti paman menolak, beliau berkeras
agar aku tidak putus sekolah, bagaimanapun caranya.
Aku pun tak tinggal
diam, otakku terus berpikir mencari peluang apa saja yang bisa kulakukan. Terkadang
ada tetangga yang menyuruhku membantu mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel,
aku mau, asal tidak mengganggu waktu belajarku. Terkadang ada tetangga yang
meminta aku mengajari anaknya mengerjakan PR atau tugas lainnya, aku juga mau.
Seiring dengan itu, tidak lagi kudengar mulut nyinyir berbau hinaan padaku, dan
juga pada adikku. Mungkin mereka bosan, atau mungkin capai, karena aku sudah
tak lagi ambil pusing. Its me and its my
life. Atau mungkin malu, karena aku tak lagi membalas mereka dengan
kebencian, meski hanya sebesar biji sawi dalam hatiku, aku terima dengan
ikhlas, aku pun mengajari Dito seperti itu.
Jika kita mau berusaha,
Tuhan pun tak akan membiarkan kita terus tenggelam dalam kebingungan. Hingga
pada suatu sore, ide itu datang melalui teman Paman Handi yang berkunjung ke
rumah. Entah urusan apa yang mereka bicarakan, tapi ketika hendak menelepon
siapa, pulsa di telepon genggam temannya paman habis, dan aku diminta untuk
membelikan ke warung depan, agak jauh memang. Sepanjang jalan, aku berpikir, di
sekolah, hampir semua teman-temanku memiliki telepon seluler, tentu saja mereka
akan butuh pulsa, kemarin juga Susi kebingungan karena butuh pulsa darurat, dan
sepertinya tidak terlalu repot kalau aku jualan pulsa.
Sepeninggal temannya
paman aku membahas ini dengan paman, beliau setuju, tapi jualan pulsa tentu
berbeda dengan jualan keliling yang hanya tinggal mengambil barang lalu menjajakan.
Kalau ini harus pake modal, harus punya telepon genggam dan tentu deposit
pulsanya (aku tahu ini karena mencari informasi tentang cara-cara jualan pulsa),
sementara uang tabunganku sudah habis untuk biaya pendaftaran sekolah dan
ini-itu.
There
is a will there is a way, dimana ada kemauan disitu ada
jalan. Entah darimana dan bagaimana, akhirnya paman mendapatkan uang lima ratus
ribu rupiah untuk beli hp second dan
juga untuk modal deposit. Belakangan sih aku tahu, rupanya paman meminjam pada
temannya. Tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku kelola dengan
sebaik mungkin, hingga sedikit demi sedikit aku bisa mengembangkannya.
Syukurlah, langgananku semakin bertambah, bahkan bapak/ibu guru di sekolah
terkadang suka membeli pulsa dariku.
Satu ide lagi muncul di
kepala, ketika aku mengantar temanku jajan di kantin, kenapa tidak aku titipkan
saja kue-kue basah tetanggaku di kantin? Tanpa berpikir panjang, aku segera
mengeksekusi ide itu. Dan kedua belah pihak setuju, ibu kantin mau menerima
titipan, dan tetanggaku bersedia memasok barang. Jadilah setiap pagi aku
membawa kue-kue basah ke kantin, baru siangnya berhitung. Rupanya kue-kue basah
tetanggaku bisa diterima pasar, malah terkadang kalau dewan guru akan rapat,
suka memesan kue-kue dariku, rezeki memang tidak lari kemana. Tak lupa, aku
selalu bersyukur setiap hari. Ternyata Tuhan benar-benar membuka jalan bagiku.
Lulus SMA, keinginanku
untuk bisa kuliah begitu kuat. Aku merasa, nilai ijazah dan SKHUN-ku tidak
mengecewakan. Tapi tentu untuk kuliah biaya yang diperlukan semakin besar,
mungkin tidak akan cukup dari hanya jualan pulsa seperti ini, meski aku
syukuri, bisa memiliki sedikit tabungan dari hasilnya, tapi itu tidak akan
cukup untuk biaya kuliah.
Aku kembali memeras
otak, bersama paman aku kembali berdiskusi, mencari peluang apa lagi yang bisa
dijalani. Kami sepakat, kalau aku jadi kuliah aku mengambil kelas karyawan
saja, agar waktu kuliahnya bisa dipadatkan, jadi aku masih punya waktu untuk
membantu paman mencari uang tambahan. Tapi dengan cara apa? Aku belum tahu.
Paman tidak tinggal
diam, bahkan Dito pun ikut urun suara, berbagai peluang usaha yang terpikir
kami bahas, dan musyawarah kami mufakat untuk membuka kedai jus di pinggir
jalan dekat pasar kecamatan, sekalian sama kue-kue basah dari tetangga itu,
barang yang lain bisa sambil jalan nantinya. Lumayan disana ada space yang cukup strategis untuk mangkal,
dilalui orang-orang yang mau ke pasar, juga anak-anak sekolah. Paman akan
membantu, Dito juga, jadi kita akan bergiliran menunggu kedai, sesuai dengan
waktu masing-masing. Ups, kalau kedai kayanya terlalu mewah deh, ini sih hanya
gerobak kaki lima saja.
Langkah selanjutnya
adalah menyusun konsep dan mengumpulkan modal. Untunglah jeda dari lulus SMA
dengan jadwal kuliah cukup panjang, jadi waktu sepanjang itu bisa aku
maksimalkan untuk melaksanakan ide kami. Lagi-lagi paman yang menyumbang modal
paling besar, karena memang kebutuhan modal kali ini tidak sedikit, untuk
membuat gerobak, beli blender dan juga bahan-bahan, buah-buahan, gula, susu,
dan lain-lain. Untungnya untuk mangkal di pinggir jalan kita tidak dikenakan
uang sewa. Dan kali ini paman pinjam dari bosnya.
Hari pertama launching (buka lapak, maksudnya), hanya
laku tiga cup, hari kedua lima cup, hari ketiga delapan cup, hari keempat lima cup lagi, yang jelas satu minggu pertama
masih belum terlihat hasilnya. Mungkin karena mental dagang sudah merasuk di
jiwaku, aku tidak merasa gentar dengan keadaan itu. Terkadang sembari belanja
buah-buahan di pasar, aku ngobrol dengan sesama penjual lain, bagaimana cara
mulai membuka usaha, karena tentu ini beda dengan jualan keliling dan jual
pulsa di sekolah. Banyak sekali masukan yang bisa kutampung, rata-rata mereka
menyarankan untuk bersabar, dan ditekuni. Sikap mental sangat menentukan, apa
yang terbersit di hati, benar-benar harus dijaga, jangan sampai ada perasaan
menyerah atau aral. Aku setuju. Banyak pengusaha yang tidak langsung berhasil
begitu buka usahanya. Namun, dengan adanya pembeli, mengindikasikan bahwa
jualanku diterima pasar, meski belum maksimal.
Menyerah? Tidak! Pengalaman
sudah mengajariku tentang perjuangan. Menyerah hanya akan menjadikanku semakin
lemah. Yang kita butuhkan hanya kesabaran dan ketekunan lebih, ditambah doa dan
strategi. Yap, strategi yang tepat akan memberikan hasil lebih baik. Setelah
kami berdiskusi lagi, maka kami menyusun beberapa strategi, yang pertama, untuk
anak sekolah, ada diskon beli berlima dapat 1 cup free aneka rasa, tapi harus makan di tempat. Yang kedua, untuk
yang upload foto selfie di media sosialnya, dapet 1 cup free juga. Program itu kita sebarkan lewat media sosial yang
kita punya, dan juga lewat beberapa anak sekolah yang kita mintai bantuan untuk
menyebarkan di sekolahnya, tentu anak itu mendapat fasilitas free. Ah, aku merasa seperti pengusaha
besar saja, pakai bikin program promo segala. Tapi memang, program itu cukup
berhasil, lambat laun pembeli meningkat jumlahnya, yang secara otomatis akan
meningkatkan omzet. Aku harus bisa nabung, untuk mencicil modal pinjaman dari
bos Paman Handi dan juga biaya kuliahku yang harus di bayar.
Alhamdulillah,
pada saat perkuliahan di mulai, kedaiku sudah lumayan ramai, hingga paman
memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan total mengurus kedai. Satu hal
lagi yang bisa ku kembangkan, kebetulan kampusku berada di kota kabupaten, dan
jadwal kuliahku hanya tiga hari, kamis-sabtu, maka tiga hari aku kos di sana,
dan empat hari aku di rumah, otomatis harus bolak-balik, setiap rabu sore
berangkat dan sabtu sore pulang. Hal ini tentu sangat menyita ongkos bis. Otak
bisnisku pun beraksi lagi, mencari cara agar bisa sekedar untuk mengganti
ongkos. Untuk itu, aku membeli kerudung atau pernak-pernik lain yang kira-kira
di kampungku belum ada, bakal dijual lagi di sana. Kadang aku juga memanfaatkan
media sosial untuk menawari teman-teman SMA-ku yang jauh, dan lumayan ada saja
yang membeli. Atau kadang aku juga menerima pesanan dari mereka yang ingin beli
barang apa. Lumayan, sambil menyelam makan mie goreng. Hehe.
Tak terasa dua tahun
lagi kuliahku selesai, mohon doanya, o ya... aku mengambil jurusan Bahasa
Inggris, kalaupun nantinya tidak jadi guru, aku bisa buka kursus di rumah,
sambil bisnis tentunya. Dan aku juga mohon doa dari semuanya, sekarang aku
sedang mengumpulkan uang untuk bisa membeli kaki palsu, agar tidak perlu
memakai jangka lagi, juga alat pendengaran untuk Dito, semoga ada rezekinya.
Amin.
Hanya itu sekelumit
pengalamanku, girls. Mudah-mudahan
bisa bermanfaat untuk kita semua. Terkadang hidup menyuguhkan hal yang tidak
kita inginkan, tapi yakinlah akan hadiah terindah yang disiapkan Tuhan jika
kita mau menerimanya dengan sabar dan ikhlas. Jangan jadi cewek cengeng, air
mata bukan satu-satunya senjata cewek untuk menghadapi kenyataan, bangkit
dengan senyum, berjuang dengan tulus dan tetap semangat menjalani hidup akan
memberikan begitu banyak energi positif. Jangan lupa terus bersyukur dan
berterima kasih pada orang-orang di sekitar kita. Karena berkat mereka kita
bisa bertahan. Keep fight!
Note:
Diramu dari beberapa sumber dan pengalaman beberapa cewek yang fight untuk hidupnya. Dengan penambahan unsur fiksi.
0 komentar:
Posting Komentar